Kisah 3 malam di dalam Gua Tsur
Di gua Tsur wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda
Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat,
betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di
atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar. "Wahai Rasul
Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka
pasti melihat kita berdua". Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna.
Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar "Janganlah
engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang
ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah".
Sejenak
ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan
keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa.
Sedang, untuk lelaki mulia yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di
atas mati dan hidupnya. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan
purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia
tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan
merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir
runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia
hanya takut... mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka
berhadapan, dan sepakat untuk bergantian berjaga. Abu Bakar memandang
wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu
ia perhatikan seksama. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan
jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Hanya ada satu nama yang
berdebur dalam dadanya, cinta... Sejeda kemudian, Muhammad tertidur di
pangkuan Abu Bakar. Dalam senyapnya malam, wajah Abu Bakar muram. Ia
teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah
seperti memburu hewan buruan. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman
hatinya, begitu semerbak. "Selama hayat berada dalam raga, aku Abu
Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan
membiarkan siapapun menganggumu".
Gua itu begitu dingin
dan remang-remang. Tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan
mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada,
ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa
ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia
mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega
membangunkan kekasih yang sangat kelelahan itu. Abu Bakar meringis
ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja
tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam
hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat.
Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi.
Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah
berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti,
Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini" suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
"Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun" potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
"Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?"
"Seekor ular baru saja menggigit saya wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat"
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibirnya bergerak "Mengapa engkau tidak menghindarinya?"
"Saya
khawatir membangunkanmu dari lelap" jawab Abu Bakar. Ia kini menyesal
karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah.
Saat
itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Rasulullah
berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah
sebuah ukhuwah.
"Sungguh bahagia, aku memiliki seorang
seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik
pemberi balasan". Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang,
Rasulullah meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan
mengagungkan nama Allah, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan
ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu
Bakar segera menarik kakinya karena malu.
"Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia seperti mu. Bagaimana mungkin?" nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua
Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat
dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika
Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani
pangkuan penuh berkah itu.
Abu
Bakar adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu
sahabat terdekat Rasulullah. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani
Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur
selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh
rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini
gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu
besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi
pergi.
Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah
kelabu karena satu kabar bahwa Nabi telah wafat. Banyak manusia terlunta
dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak
mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan
seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur "Ketahuilah,
siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan
sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati".
Kepergian
sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan
Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan
pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Abu Bakar wafat pada usia 63
tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan
kemenangan di tangan Muslim. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana,
namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang
yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik
sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri.
About Inovatif -
Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.